. JURAGAN ANTIK: Nostalgia Dengan Sepeda Tua
KOLEKSI BARANG ANTIK Lampu antik, Sepeda onthel dan bermacam aksesoriesnya, Arloji antik, Gambar klasik, Timbangan kuno, Kacamata , ALAT PERTUKANGAN, ELEKTRONIK DJADOEL, PERABOT RUMAH TANGGA DAN PERMAINAN ANAK2 serta bermacam koleksi barang antik lainnya akan saya posting. Jika anda berminat menambah koleksi barang antik, barang jadul dan langka silahkan jelajahi blog ini, tinggalkan pesan atau hubungi saya di Phone : 0813-2906-5252 ATAU 0878-3981-5625
SEKILAS INFO!!!!
Kami Juga Melayani Pemesanan Pembelian (mencarikan) Serta Penjualan (menjualkan) Barang Djadoel Nan Antieq.
BAGI ANDA YANG BER MINAT DENGAN BARANG JADUL NAN ANTIQ SILAHKAN CALL/SMS KE >>> 0813-9206-5252 <<< >>> 0878-3981-5625 <<< >>> 085-643-666-847 <<<

Friday 4 March 2011

Nostalgia Dengan Sepeda Tua


Cerpen: Lelaki Rumput
Dua orang anak kecil berdiri di samping sepeda tua. satu orang naik ke atas jok, kakinya yang pendek berusaha mencapai pedal, satu orang lagi memeganginya agar tidak jatuh. Pagi masih tersaput kabut, gerimis turun. kedua bocah itu bermain di dalam rumah. Dari arah dapur terdengar suara mak Lenti, nenek mereka.
"Hati-hati jangan sampai si jenderal jatuh! Abah bisa marah kalau si jenderal rusak, bermainnya disini saja sama emak!" Rerumputan basah. Berembun. Sepasang kaki berjalan diatas rumput pekarangan. Dua orang anak kecil berlari begitu melihat kakek mereka masuk kerumah, seorang dari mereka tanpa sengaja menyenggol badan sepeda hingga jatuh. Suaranya gaduh membelah pagi beku.
"Emak bilang apa! Hati - hati kalau main di dekat si jendral, kalau abah tahu si jendral jatuh, kalian bisa bisa dimarahi!" Mak Lenti yang tengah sibuk membakar singkong di perapian melangkah menuju kamar. Disana ia dapati suaminya, Mbah Soleh tengah membenarkan letak sepeda tua kesayangan.
"Sudah pulang dari mesjid Mbah? Mak sudah bilang pada anak-anak agar jangan main di dekat si jendral".
"Sudah, tidak apa-apa Mak, tidak ada yang rusak ini, namanya juga anak-anak mak, biarkan saja." Mbah Soleh, pria paruh baya yang setia mengenakan peci hitam di kepalanya berkata. Ia kini duduk di kursi bambu buatannya sendiri. Mak Lenti berjalan kearah dapur, mengambil teh panas dan singkong bakar untuk menemani Mbah soleh. Diletakkannya sepiring singkong bakar dan secangkir teh panas di atas meja, kemudian Mak Lenti duduk di samping suaminya, memandangi sepeda antik di depannya.
"Sudah lama ya Mbah, si jendral menemani keluarga ini, tidak menyangka kalau kita akan kehilangan si jendral". Sepada tua itu membawa pikiran Mak Lenti kembali ke masa silam, disaat dirinya masih berusia belia, masih senang memakai rok dan celana cutbray, serta rambutnya yang panjang di kepang dua.Suaminya seorang guru waktu itu. Tiap hari Pak guru melintasi rumahnya dengan mengenakan sepeda antik warisan kakeknya yang seorang veteran. kakek Pak guru muda sangat mengagumi seorang pria bernama jenderal Sudirman, mungkin karena itu juga sepeda itu diberi nama si jendral. Mak Lenti masih ingat, dengan sepeda itu suaminya sering mengajaknya menonton film India dan koboi ke bioskop di kota. Dengan sepeda itu juga Mbah Soleh berangkat ke sekolah, pergi ke pasar, atau pun ke rumah saudara, selalu diantar oleh si jendral.
"Bukankah dengan sepeda ini abah berkunjung ke rumah buat meminang emak? Sudah lama sekali ya Mbah masa-masa itu, kemana perginya Lenti si gadis muda yang cantik, Soleh yang gagah, sekarang kita sudah menjadi kakek-nenek dengan kulit mengeriput, rambut berubah menjadi seputih susu. Dan anak-anak kita bah... si Tina di bawa suaminya ke Yogyakarta, menetap disana. Si Dudung yang suka abah bonceng di jok belakang sepeda, memperoleh jodoh gadis malaysia, pasti dia sedih kalau tahu sepeda kenangannya sudah tidak ada. Dan Nurul, kemana dia ya, sudah lebih dari satu bulan dia tidak pulang, kenapa si bungsu tidak mengajar di kampung saja, agar lebih dekat dengan kita, lebih dekat dengan anak-anaknya, Iki dan Ijal ". Tutur mak Lenti. Melihat singkong bakar yang belum di sentuh oleh suaminya, Mak Lenti berkata "Singkongnya dimakan dulu Mbah, biasanya abah paling suka dengan singkong bakar."
"Pernahkah Mak merasa anak-anak kita bukan anak-anak kita lagi?" Ujar Mbah Soleh, tidak memedulikan singkong bakar di depannya, bahkan teh panas pun sama sekali belum disentuhnya.
"Ah abah ini, anak-anak kita ya tetap anak-anak kita, kalau Tina dan Dudung jarang sekali berkunjung menengok kita, ya karena rumah mereka jauh, kan masih ada Nurul, Ijal, Iki, yang menemani kita, meskipun Nurul sebenarnya juga sibuk."
Keduanya lalu terdiam, diombang-ambing pikiran masing-masing. Nurul, putri bungsu Mbah soleh dan Mak Lenti bekerja di kota Sukabumi, mengajar di sebuah sekolah dasar sebagai guru honorer. Selepas d itinggal pergi begitu saja oleh suaminya satu tahun silam, yang menurut kabar angin suaminya telah menikah lagi dengan dengan seorang wanita di jakarta, Nurul kini bekerja untuk membiayai kedua anak laki-lakinya, Ijal dan Iki, berbekal ijazah SMA Nurul pergi ke kota.
Kenapa tidak mengajar di kampung saja Rul ? Anakmu kan masih kecil-kecil, masih butuh kasih sayang seorang ibu, kata Mbah soleh ketika Nurul memutuskan bekerja di kota. Nurul menjawab, di kota lebih banyak peluang usaha, selain mengajar, ia pun bisa bekerja sampingan yang menurutnya lebih besar dari pada penghasilan sebagai pengajar.
"Sudah satu bulan Nurul tidak pulang, padahal satu minggu lagi rencananya Iki mau di sunat. Terlalu sibukkah dia mencari uang Mak?"
"Ya, pasti Nurul sudah tahu kalau hasil panen kemarin kurang bagus, cuma cukup buat makan dan sebagian kita jual ke pasar, mungkin besok atau lusa nurul datang, kita tunggu saja Mbah".
"Menurut Mak, apa benar apa yang di katakan Supri dan beberapa tetangga yang mengatakan mereka pernah melihat nurul bekerja di sebuah klub malam?" Mak Lenti tidak mau menanggapi perkataan suaminya, menurutnya itu hanyalah kabar burung yang tidak patut di dengar, ia percaya, anaknya masih si Nurul yang gemar berlarian di pematang sawah, yang suka memanjat pohon jambu, berenang mencari ikan-ikan kecil di sungai.
"Sayang sekali ya Mbah kalau si jendral di jual."
Mak Lenti berjalan kearah si jendral, mengelus batang besinya yang dingin.
"Lantas apa lagi yang akan kita jual untuk membiayai sunatan Iki? Kasihan Iki, sudah saatnya dia di sunat, kalau ikut mengaji dengan kakanya dia selalu ditanya sudah di sunat atau belum oleh guru dan temannya. Kalau saja kambing kita masih ada, sawah pun tidak seberapa, lebih baik itu buat masa depan Iki dan I jal, buat membiayai sekolah mereka nanti."
"Dulu abah yang paling berkeras untuk tidak menjual si jendral, sudah banyak kolektor yang bolak-balik untuk membeli, bahkan dulu sempat ada yang menawar dengan harga beberapa juta rupiah pun abah tolak.”
“Apa yang akan kita pertahankan dari sepeda usang itu, masa silam sudah terkubur bersama usia kita yang uzur, daripada di jual pada Kosim si pedagang barang bekas, mending kita jual saja sepeda ini pada pak Toni.”
“Abah bilang si jendral adalah satu-satunya warisan yang di tinggalkan untuk abah, dengan di jual ke pak Toni setidaknya sepeda ini akan lebih terjamin perawatan dan keamanannya, daripada di biarkan berdebu dan jadi mainan Ijal dan Iki. “ Namun Mak Lenti tahu, suaminya tidak mungkin akan siap untuk kehilangan si jendral yang sudah menjadi bagian dari keluarga ini. “Abah tidak ke sawah?” Abah Soleh menggeleng, ia seruput secangkir teh yang mulai dingin.
“Abah mau ke kantor desa dulu, menelpon sekolah tempat Nurul mengajar, sekalian mau mengajak Iki dan Ijal jalan-jalan.”
“Hati-hati Mbah, semalam hujan, jalanan becek.”

***

“Jadi sudah satu bulan Nurul tidak mengajar? Adakah ia mengirim pesan untuk saya pak? Apa..Nurul sekarang sedang berada di… iya, kalau begitu terima kasih pak.” Pak Soleh menutup gagang telepon dengan raut muka cemas, wajahnya seperti habis di tampar, resah. Nurul putrinya sudah di berhentikan dari tempatnya mengajar, dan ia baru tahu sekarang. Pak Soleh kembali mengayuh sepeda tuanya ke rumah.

***

“Bagaimana Mbah, apa katanya? Nurul jadi pulang?” Tanya Mak Lenti begitu Mbah Soleh tiba di rumah.
“Bisa ambilkan air dulu Mak,” pinta mbah Soleh.” Iki, Ijal, tolong kalian mandikan si jendral dulu!” Ijal, bocah berusia tujuh tahun dan adiknya Iki paling senang kalau di suruh kakeknya membersihkan si jenderal. Meskipun sepeda butut itu masih terlalu besar untuk mereka berdua, tapi setidaknya sepeda butut itu dapat sedikit mengobati keinginan mereka untuk memiliki sepeda mini seperti yang dimiliki teman-temannya. Mereka berdua selalu menunggu kedatangan sang ibu, yang dulu pernah berjanji untuk membelikan mereka sepeda mini.
“Nurul sudah satu bulan tidak mengajar di sekolah mak,” hanya itu yang bisa Mbah Soleh ungkapkan.
“Kalau begitu kita tengok saja Nurul ke kota, abah tahu kan alamatnya,” ujar mak Lenti, nalurinya sebagai seorang ibu terpanggil untuk menemui Nurul.
“Tidak usah mak, barangkali benar apa kata emak, Nurul terlalu sibuk bekerja, mencari uang untuk biaya Iki di sunat.” MBah Soleh berusaha menenangkan Mak Lenti, ia belum sanggup untuk memberitahukan pada istrinya bahwa Nurul di tangkap polisi ketika berada di sebuah warung remang-remang pada suatu malam yang kesepian. Sekarang Nurul sedang beaada di lembaga pemasyarakatan wanita kota Sukabumi.

***

Pak Toni sang kolektor barang antik sudah lama jatuh cinta pada sepeda onthel itu untuk menghiasi galerinya di kota. Di telitinya si jenderal yang masih menampakan kegagahannya, terawat tidak nampak berkarat.
“Si jenderal mau di bawa kemana Mbah…??” Tanya Iki ketika di lihatnya si jenderal hendak di bawa keluar setelah pak Toni lebih dulu menyerahkan sebuah amplop pada Mbah Soleh.
“Sepeda ini punya Ijal, jangan bawa pergi si jenderal!!” Teriak Ijal, yang langung menyerbu ke arah sepeda, menghalangi langkah Pak Toni. Mak Lenti dan Mbah Soleh berusaha membujuk Ijal dan Iki agar menjauh dari sepeda yang sekarang sudah jadi milik Pak Toni.
“Ijal, Iki, sepeda itu sekarang bukan milik kita lagi, sudah di beli Pak Toni, uangnya nanti bisa abah belikan sepeda bagus untuk Iki kalau di sunat nanti.” Bujuk Mbah Soleh.
“Tidak! Pokoknya Iki mau si jenderal, Iki tidak mau di sunat kalau tidak ada si jenderal, jangan biarkan orang itu membawa si jenderal Mbah.. !” Rengek Iki sambil terus mempertahankan sepeda kesayangannya. Ijal pun demikian, ia menangis seperti layaknya seorang pacar yang hendak di tinggal pergi kekasihnya. Mbah Soleh dan Mak Lenti bingung hendak melakukan apa. Pak Toni masih terpaku di tempatnya berdiri.
“Jangan bawa si jenderal, Iki mau si jenderal…!”

Cianjur, 2010